Rabu, 12 September 2012

Temanku Mencontek


TEMANKU MENCONTEK
Oleh E Widya Kristianti

            Aku mempunyai pengalaman dengan teman yang tidak jujur. Pengalaman ini terjadi saat aku kelas tiga. Pada waktu itu Bapak Hendri Widiantoro adalah guru pelajaran Bahasa Indonesia. Saat itu Pak Hendri sedang menjelaskan cara membuat cerita. Pak Hendri bercerita tentang “Kancil dan Pak Tani”. Cerita Pak Hendri sangat menarik. Sebelum pelajaran berakhir, Pak Hendri memberi tugas  membuat cerita. Setiap anak harus membuat satu cerita pendek. Cerita yang dibuat harus karangan sendiri, tidak boleh mencontek. Setiap anak harus membaca cerita yang dibuatnya di depan kelas.  Aku dan teman-teman diberi waktu satu minggu untuk membuat cerita.
            Setelah sekolah berakhir dan aku sampai di rumah, aku mencari ide cerita. Untuk mencari ide aku banyak membaca buku cerita anak. Aku kebingungan, karena belum pernah membuat cerita. Setelah membaca beberapa cerita, akhirnya aku menemukan ide. Aku membuat cerita yang berjudul “Kancil dan Kepiting”. Cerita ini aku buat sendiri, tanpa dibantu orang lain.
            Seminggu kemudian, teman-teman sekelas sudah siap dengan ceritanya masing-masing. Ketika pelajaran Bahasa Indonesia, aku dan teman-teman  sudah siap membaca cerita yang telah dibuat. Setiap anak maju satu per satu ke depan kelas sesuai dengan urutan absen. Cerita yang dibuat teman-teman sangat menarik. Tiba giliranku membaca cerita. Aku membaca cerita dengan percaya diri. Setelah aku selesai, tiba giliran temanku yang bernama Aurelia Elsaviona Yohananda (Elsa). Elsa membaca cerita yang berjudul “Anak Ayam Mencari Makan”. Cerita yang dibuat Elsa juga sangat menarik. Setelah Elsa selesai membaca ceritanya, aku tiba-tiba teringat cerita yang pernah dimuat di Majalah Bobo. Rasa-rasanya aku pernah membaca cerita “Anak Ayam Mencari Makan” di Majalah Bobo. Aku penasaran dengan cerita Elsa.
            Setelah sekolah berakhir dan aku sampai di rumah, aku membongkar tumpukan Majalah Bobo untuk mencari cerita “Anak Ayam Mencari Makan”. Aku punya banyak Majalah Bobo, karena sejak kecil aku berlangganan majalah itu. Akhirnya aku menemukan Majalah Bobo yang memuat cerita “Anak Ayam Mencari Makan”. Cerita itu aku baca dan ternyata isinya sama persis dengan cerita yang dibuat Elsa.
            Keesokan harinya, Majalah Bobo itu aku bawa ke sekolah. Aku bersama temanku Stella Maris Putri Nirwana (Lala) menunjukkan cerita di majalah itu kepada Elsa. Namun, Elsa tetap tidak mengakui bahwa ia telah mencontek. Elsa mengatakan, cerita yang dibuatnya adalah hasil karangannya sendiri. Namun, aku tetap tidak percaya dengan Elsa. Aku dan Lala kemudian mencocokkan setiap kalimat pada cerita yang dibuat Elsa dengan cerita yang ada di Majalah Bobo. Aku melihat kalimat-kalimatnya sama persis. Aku tambah yakin kalau Elsa telah berbuat tidak jujur. Elsa telah mencontek. Setelah Elsa melihat ceritanya sama persis dengan cerita di Majalah Bobo, ia mengakui bahwa ceritanya memang hasil mencontek dari Majalah Bobo. Ia menangis dan minta maaf karena telah berbuat tidak jujur.
            Tadinya aku jengkel dengan Elsa karena tidak mau berterus terang. Tetapi, saat itu aku senang karena ia sudah mau mengakui perbuatannya. Ia juga berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Akhirnya, aku, Lala, dan Elsa saling berjabat tangan dan berjanji untuk tetap bersahabat serta akan menghindari perbuatan yang tidak jujur.


                                                               Demangrejo, 9 September 2011
                                                               Mengetahui,
                                                                Kepala SD Kanisius Bonoharjo



                                                               Th. Endah Ngestining Rahayu, S.Pd.

*) Lolos sebagai salah satu delegasi Konferensi Anak Indonesia 2011 dengan tema “Ayo Kita Jujur” di Jakarta, 13 s.d. 18 November 2011
















                                                                                                                           





                                                                                                              





















Ketidakjujuran Nanda


KETIDAKJUJURAN NANDA
Oleh E Widya Kristianti
           
            Kriiiing…. Bel tanda masuk sekolah berbunyi. Aku dan teman-teman bergegas masuk kelas dan duduk di tempatnya masing-masing. Pelajaran jam pertama adalah Bahasa Indonesia. Kami menunggu Pak Sarman, Guru Bahasa Indonesia. Sesaat kemudian Pak Sarman memasuki kelas.
            “Selamat pagi, anak-anak,” kata Pak Guru.
            “Selamat pagi, Pak,” jawab kami serentak.
            Pelajaran pun segera dimulai. Pak Guru menerangkan tentang cara membuat cerita pendek atau cerpen. Pak Guru memberi contoh cerita tentang “Kancil dan Buaya”. Cerita yang dibawakan Pak Guru sangat menarik perhatian. Aku senang mendengar cerita itu. Selain petualangannya menarik, cerita itu juga mengandung banyak nasihat yang dapat aku petik. Untuk tugas di rumah kami disuruh membuat cerpen.
“Cerpen itu harus asli karangan sendiri, tidak boleh mencontek,” kata Pak Guru kepada kami.
            Seketika itu kelas menjadi ramai, kami semua bingung karena belum pernah membuat cerpen. Aku sendiri juga tidak yakin apa bisa membuat cerpen.
“Cerpen itu dikumpulkan minggu depan. Setiap siswa harus membaca cerpen yang dibuatnya di depan kelas,” kata Pak Guru menutup pelajaran.
            Tak terasa pelajaran telah berakhir, waktunya kami untuk istirahat. Pada saat istirahat, aku dan teman-teman asyik membicarakan tugas Bahasa Indonesia.  Kami semua kebingungan dengan ide cerita apa yang akan dibuat.
“Put, kamu mau membuat cerpen tentang apa?”, tanyaku kepada Putri sahabat dekatku.
             “Wah, aku belum tahu. Belum ada ide,” kata Putri.
             “Sama. Aku juga bingung mau buat cerita apa,” kataku.
            Tiba-tiba Nanda teman sekelas datang menghampiri kami dan ikut ngobrol bersama.
            “Kalian sedang membicarakan apa?”, tanya Nanda.
            “Membicarakan tugas Bahasa Indonesia,” Putri segera menyahut.
          “Kamu mau bikin cerita apa, Nda?”, tanya Putri.
“Wah, kalau soal itu aku juga bingung. Tapi, aku yakin kalau aku bisa membuat cerpen,” kata Nanda dengan nada sombong.
            Tanda bel istirahat berakhir berbunyi. Waktu 20 menit untuk istirahat telah berakhir. Aku pun bergegas menuju ruang kelas dan mempersiapkan buku pelajaran selanjutnya. Setelah istirahat kami belajar Matematika. Aku tidak bisa konsentrasi belajar Matematika karena memikirkan tugas Bahasa Indonesia. Apalagi cerpen itu harus dibaca di depan kelas. Cerpen apa yang akan kubuat? Wah, benar-benar membuat bingung.
            Setelah sampai di rumah, berganti baju, dan istirahat sejenak, aku mencari ide untuk membuat cerpen. Namun, aku belum juga menemukan ide bagus. Aku mencoba membongkar buku-buku cerita anak dan sambil membacanya, siapa tahu dari membaca buku-buku cerita aku mendapatkan ide. Ketika aku asyik membaca buku-buku cerita, tiba-tiba aku mendengar suara Mama yang datang menghampiriku.
“Kristi, kok buku-bukunya dikeluarkan semua? Mau mencari apa, nak?”, tanya Mama.
“Eh, Mama. Iya Ma, ada tugas dari Pak Sarman. Suruh bikin cerpen. Kristi lagi cari ide, siapa tahu dengan membaca buku-buku cerita Kristi mendapat ide bagus,” kataku menjelaskan.
“Oh, begitu …,” kata Mama sambil berlalu.
            Akhirnya, setelah membaca beberapa cerita anak aku memperoleh ide. Aku membuat cerpen tentang “Semut dan Burung Jalak”. Membuat cerpen itu ternyata tidak mudah. Banyak dialog dalam cerpen yang aku buat masih terasa aneh. Setelah bekerja keras selama tiga hari, akhirnya cerpen itu selesai. Aku senang dan bangga, sebab aku berhasil membuat cerpen sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku berharap cerpenku bisa menghibur teman-teman dan Pak Sarman.
            Seminggu kemudian kami sudah siap dengan cerpen masing-masing. Kami semua bersemangat ingin segera membaca cerpen di depan kelas. Aku sendiri penasaran dengan cerita yang dibuat teman-teman.
            Kriiiing…. Tanda bel masuk sekolah berbunyi. Aku dan teman-teman bergegas memasuki ruang kelas dengan tertib. Jam pertama adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Seperti yang pernah disampaikan Pak Sarman seminggu yang lalu, hari itu setiap siswa harus membaca cerpen yang dibuatnya di depan kelas.
            “Selamat pagi, anak-anak,” kata Pak Sarman.
            “Selamat pagi, Pak Guru,” jawab kami serentak.
            “Seperti yang telah disampaikan Pak Guru minggu lalu, pada pelajaran hari ini setiap anak harus membaca cerpen yang telah dibuat. Supaya adil, giliran        majunya sesuai dengan nomor presensi ya,” kata Pak Guru.
            Pada saat salah satu anak maju di depan kelas membaca cerpen, anak-anak yang lain mendengarkan dengan tekun. Kami semua sangat senang dengan cerpen-cerpen yang dibacakan. Setiap anak yang sudah selesai membaca cerpennya selalu mendapat tepuk tangan yang meriah dari teman-teman lain. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya tiba giliranku maju ke depan kelas. Aku membaca cerpen tentang “Semut dan Burung Jalak”. Setelah selesai membaca cerpen, aku pun mendapat tepuk tangan dari teman-teman. Selanjutnya, giliran temanku Nanda yang maju ke depan kelas. Ia membaca cerpen yang berjudul “Kepiting dan Kura-kura”. Cerpen yang dibawakan Nanda sangat menarik perhatian kami. Nanda membaca cerpennya dengan penuh penghayatan. Aku mendengarkan cerpen Nanda dengan seksama. Setelah Nanda selesai membaca cerpen, aku termenung sejenak. Rasa-rasanya aku pernah membaca cerpen yang dibaca Nanda tadi di Majalah Ceria.
            Ketika istirahat, aku dan teman-teman membicarakan cerpen yang baru saja dibaca di depan kelas. Akan tetapi, aku tetap penasaran dengan cerita yang dibuat Nanda. Akhirnya, aku memberanikan diri bertanya kepada Nanda.
“Cerpen tadi karanganmu sendiri, Nda?”, tanyaku sedikit hati-hati kepada Nanda.
            “Iya, benar. Bagus, kan? Memangnya kenapa?”, kata Nanda balik bertanya.
“Sepertinya cerpen itu pernah aku dengar. Rasanya aku pernah membaca cerpen yang kamu buat tadi di Majalah Ceria,” kataku dengan nada penasaran.
“Ah, tidak mungkin. Mungkin cerpen yang kamu baca itu hanya kebetulan saja sama dengan cerpen yang aku buat,” kata Nanda menjelaskan.
            Setelah mendengar penjelasan Nanda tadi, aku semakin penasaran dengan cerita yang dibuatnya.
            Setelah pulang sekolah aku langsung bongkar-bongkar tumpukan Majalah Ceria. Kebetulan aku berlangganan Majalah Ceria. Setelah cukup lama membuka-buka majalah, akhirnya aku menemukan cerpen yang berjudul “Kepiting dan Kura-kura”. Cerpen itu aku baca dan isinya ternyata sama persis dengan cerpen yang dibuat Nanda. Untuk meyakinkan Nanda, majalah itu akan aku bawa ke sekolah.
Keesokan harinya, sambil membawa Majalah Ceria yang memuat cerpen “Kepiting dan Kura-kura” aku menemui Nanda.
“Nda, cerpen yang kamu baca kemarin itu ternyata ada di majalah ini,” kataku dengan sabar.
            Nanda kemudian melihat cerpen itu. Namun, ia tetap tidak mengakui bahwa cerpennya adalah hasil mencontek dari Majalah Ceria. Untuk meyakinkan Nanda, aku mencocokkan setiap kalimat yang dibuat Nanda pada cerpennya dengan kalimat-kalimat yang ada di Majalah Ceria. Aku menemukan kalimat-kalimatnya sama persis. Ketika aku dan Nanda sedang membicarakan tentang cerpen itu, tiba-tiba Putri datang.
            “Kalian tampak serius banget. Sedang membicarakan apa?”, tanya Putri.
Aku menyahut, “Ini Put, cerpen yang dibuat Nanda kemarin ternyata ada di Majalah Ceria. Ini buktinya,” kataku sambil menyodorkan majalah. Putri kemudian membaca cerpen Nanda dan mencocokkan setiap kalimat yang ada di Majalah Ceria.
“Wah, kalau demikian berarti Nanda telah berbuat tidak jujur. Nanda telah mencontek hasil karya orang lain,” kata Putri.
            Setelah mendengar perkataan Putri, Nanda menangis. Dengan jujur ia mengakui bahwa cerpen yang dibuat memang hasil mencontek dari Majalah Ceria. Setelah itu Nanda minta maaf. Nanda menyesal karena telah berbuat tidak jujur. Aku dan Putri menghibur Nanda supaya tidak menangis. Aku juga memberi saran supaya tidak mengulangi perbuatannya yang tidak jujur itu.
“Maafkan aku, Kristi dan Putri. Aku mengakui bahwa cerpen yang aku buat kemarin memang hasil contekan dari Majalah Ceria. Aku pikir teman-teman tidak ada yang tahu,” kata Nanda sambil menangis.
            Sebenarnya aku jengkel dengan Nanda karena tidak mau berterus terang kalau cerpen yang dibuatnya itu hasil mencontek. Akan tetapi, akhirnya aku senang karena ia sudah mengaku terus terang akan ketidakjujurannya. Bahkan, Nanda berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Setelah mendengar pengakuannya, aku, Nanda, dan Putri saling berjabat tangan. Kami berjanji untuk tetap bersahabat serta akan menghindari perbuatan yang tidak jujur.



*) Berdasarkan hasil penilaian Dewan Juri terhadap 1.495 Naskah Peserta Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) bagi siswa tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, cerita ini telah ditetapkan sebagai salah satu dari 15 finalis LMCA yang selanjutnya mengikuti seleksi final pada 14 s.d. 16 November 2011 di Hotel Prioritas Jl. Raya Puncak Km. 83, Cisarua, Bogor, Jawa Barat.

Selasa, 11 September 2012

Komite Sekolah


KOMITE SEKOLAH DIBUBARKAN?
Oleh BAMBANG RUWANTO

            Pada diskusi terbatas kerja sama antara Kompas DIY dan Laboratorium Dakwah (Labda) Yayasan Shalahuddin, Rabu (22/7), di Yogyakarta, para peserta menyoroti tentang peran komite sekolah yang kadang hanya menjadi alat sekolah untuk meminta sumbangan dari orang tua murid (Kompas, 25/7). Diberitakan pula bahwa ada gagasan supaya komite sekolah dihapus saja, diganti dengan akuntan independen. Layangan pesan singkat (SMS) warga dengan nomor 0852929307xx yang dimuat di Kompas (1/8) juga setuju apabila dibentuk komite tidak tetap dari TK-SMA, sebab banyak komite sekolah yang hanya sekadar tukang cap. Benarkah komite sekolah hanya sekadar alat sekolah sekaligus tukang cap?
            Dasar hukum pembentukan komite sekolah adalah Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 tanggal 2 April 2002. Dalam Keputusan Menteri itu disebutkan tujuan dan peran komite sekolah. Salah satu tujuan dibentuknya komite sekolah adalah untuk meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Sedangkan peran komite sekolah antara lain, sebagai lembaga pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan; sebagai lembaga pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan; dan sebagai lembaga pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Jadi, komite sekolah sebenarnya memiliki peran yang sangat strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di satuan pendidikan tertentu. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, komite sekolah dapat memberi masukan, saran, pertimbangan, dan rekomendasi kepada sekolah berkaitan dengan program sekolah, Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS), kriteria tenaga kependidikan (misalnya, pengangkatan guru tidak tetap untuk membina kegiatan ekstrakurikuler), kriteria buku pelajaran yang digunakan, dan sebagainya.
            Mencermati peran komite sekolah yang telah disebutkan di atas, komite sekolah sebenarnya memiliki tugas yang sangat mulia. Sebagai lembaga pemberi pertimbangan, komite sekolah dapat berdiskusi dengan pihak sekolah mengenai program sekolah yang akan dilaksanakan. Sebagai lembaga pendukung, komite sekolah dapat memberikan bantuan pemikiran dalam hal pengelolaan keuangan, misalnya pengelolaan dana BOS. Sebagai lembaga kontrol, komite sekolah hendaknya dapat  menjamin bahwa sekolah memiliki transparansi dalam segala bidang.
            Adanya usulan bahwa komite sekolah dibubarkan menunjukkan bahwa komite sekolah yang ada selama ini belum berfungsi dengan baik. Melihat perannya yang sangat strategis dalam dunia pendidikan, komite sekolah perlu lebih diberdayakan. Sebelum seseorang menyanggupkan diri sebagai anggota komite sekolah, ia harus menyadari peran dan fungsinya. Menjadi komite sekolah harus berani bekerja sebagai relawan. Bekerja tanpa mengharapkan upah, bukan sebaliknya.  Gagasan supaya komite sekolah dihapus saja dan diganti dengan akuntan independen, sebenarnya muncul karena komite sekolah belum bekerja sesuai dengan peran dan fungsinya. Jadi, yang perlu dilakukan adalah menyadarkan komite sekolah akan peran dan fungsinya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di satuan pendidikan tertentu. Apabila komite sekolah berfungsi dengan baik, anggapan bahwa komite sekolah hanya sebagai alat sekolah sekaligus tukang cap akan hilang dengan sendirinya.
Pengalaman Sekolah Swasta
            Seperti diuraikan oleh Ki Supriyoko (Kompas, 28/7), saat pemerintah menjalankan kebijakan sekolah gratis, yang hanya berlaku di sekolah negeri, pemerintah telah “membunuh” sekolah swasta. Masyarakat akan menyerbu sekolah negeri, dengan meninggalkan sekolah swasta. Hal ini sangat dirasakan oleh sebuah sekolah dasar (SD) swasta, sebut saja namanya SD Swasta, di Kabupaten Kulon Progo. Di SD Swasta itu kebetulan penulis menjadi salah satu anggota komite sekolah. Sungguh sangat berat tantangan sekolah swasta menghadapi kebijakan sekolah gratis. Ketika pemerintah belum mengeluarkan kebijakan sekolah gratis, SD Swasta ini merupakan salah satu sekolah swasta yang menjadi pilihan masyarakat. Akan tetapi, mulai tahun ajaran 2009/2010 SD Swasta ini sangat merasakan akibat kebijakan sekolah gratis. Satu kompleks dengan SD Swasta ini terdapat pula taman kanak-kanak. Kedua jenjang pendidikan ini dikelola oleh yayasan yang memiliki semangat preferential option for the poor. Sebelum kebijakan sekolah gratis, hampir sebagian besar lulusan taman kanak-kanak secara otomatis melanjutkan ke sekolah dasar yang berada dalam satu kompleks. Akan tetapi, lulusan taman kanak-kanak itu sekarang banyak yang mendaftar ke sekolah negeri. Ki Supriyoko benar bahwa tidak semua warga masyarakat berorientasi pada mutu (quality orientation), tetapi pada ekonomi (economical orientation). Akibatnya, ketika sebuah sekolah tidak lagi gratis, tidak semua warga mampu bertahan di sekolah itu. Akhirnya, banyak sekolah swasta yang tutup akibat kekurangan murid.
            Untuk mempertahankan keberadaan SD Swasta di atas, menjelang penerimaan peserta didik baru komite sekolah beserta para guru sepakat mengadakan sosialisasi (tepatnya, promosi) ke kampung-kampung atau komunitas-komunitas tertentu untuk menjelaskan kepada warga bahwa proses pendidikan memerlukan peran serta masyarakat, khususnya dalam hal pembiayaan. Singkatnya, dengan kerja keras para anggota komite sekolah, SD Swasta masih tetap menjadi pilihan masyarakat, meskipun tidak gratis. Setelah memperoleh siswa baru, tantangan komite sekolah belum berakhir. Komite sekolah bersama-sama dengan sekolah masih memikirkan cara mencari donatur untuk dapat meringankan beban SPP.  Sebab sesuai dengan semangat preferential option for the poor, sekolah akan meminta orang tua membayar SPP sesuai kemampuan.
            Uraian di atas hanya sebuah kasus di sekolah dasar swasta tertentu. Akan tetapi, persoalan yang dihadapi sekolah swasta, khususnya sekolah swasta yang dikelola oleh yayasan yang kemampuan finansialnya pas-pasan, tentu tidak jauh berbeda. Anggota komite sekolah di sekolah swasta tidak dapat hanya sekadar menjadi alat sekolah sekaligus tukang cap. Justru sebaliknya, komite sekolah di sekolah swasta harus benar-benar berani berjuang untuk kemajuan sekolah. Menjelang tahun ajaran baru,  komite sekolah di sekolah swasta harus ikut memikirkan supaya sekolahnya tidak gulung tikar karena kekurangan murid. Komite sekolah masih diperlukan, setidaknya di sekolah swasta.



BAMBANG RUWANTO,
Anggota Komite Sekolah
sebuah sekolah swasta  
di Kabupaten Kulon Progo