IPA,
IPS, dan Pendidikan Karakter
Bambang
Ruwanto
Dalam kurikulum baru yang akan
diterapkan mulai tahun ajaran 2013-2014, mata pelajaran IPA dan IPS di SD bersifat
tematik-integratif. Pelajaran IPA dan IPS dengan tema tertentu (misalnya: lingkungan hidup, bencana alam, dan kepahlawanan)
akan diintegrasikan pada mata pelajaran
lain. IPA akan menjadi materi pembahasan pada pelajaran Bahasa Indonesia dan
Matematika, sedangkan IPS akan menjadi materi pembahasan pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) (KR, 14/11/2012). Perubahan kurikulum
pada jenjang SD akan “menghapus” mata pelajaran IPA dan IPS. Berdasarkan arahan Wakil Presiden Boediono, kurikulum baru yang sedang disusun pemerintah lebih ditekankan pada penanaman nilai dan sikap mulia, yaitu pendidikan karakter. Mata pelajaran IPA dan
IPS sebenarnya sarat dengan nilai-nilai karakter dan dapat digunakan sebagai
media pendidikan karakter.
***
Carin
dan Sund (1989) mengemukakan bahwa IPA atau sains memiliki tiga unsur
utama yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: proses, produk, dan sikap ilmiah.
Proses sains atau biasa dikenal dengan istilah proses ilmiah terdiri atas
beberapa tahapan, yaitu: mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, merumuskan
hipotesis, melakukan eksperimen, melakukan observasi, mengumpulkan dan
menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Dalam melaksanakan proses ilmiah
perlu dilandasi dengan sikap ilmiah, yaitu: jujur, kritis, teliti, disiplin,
terbuka terhadap kritik, hasrat ingin tahu, dan sebagainya. Melalui proses
ilmiah yang dilandasi sikap ilmiah akan menghasilkan produk ilmiah, seperti:
fakta, prinsip, hukum, teori, dan sebagainya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pembelajaran
IPA sebenarnya sarat dengan nilai-nilai karakter. Ketika anak melakukan
eksperimen di laboratorium, sebenarnya anak belajar tentang kejujuran, sikap
kritis, ketelitian, disiplin, dan sebagainya. Jadi, mata pelajaran IPA cocok digunakan
sebagai media pendidikan karakter. Sayangnya, selama ini pembelajaran IPA tidak
pernah melibatkan tiga unsur utama secara simultan. Pembelajaran IPA tidak
pernah dilakukan dengan metode eksperimen. Pembelajaran IPA hanya mengajarkan
produk tanpa proses. Para siswa hanya sekadar menghafalkan produk-produk IPA. Anak-anak
tidak pernah dilibatkan dalam proses ilmiah dan sikap ilmiah. Sebagai media
pendidikan karakter, pembelajaran IPA mestinya melibatkan tiga unsur utama: proses,
produk, dan sikap ilmiah.
Pembelajaran IPA yang hanya sekadar
mempelajari produk IPA terjadi karena selama ini sekolah (guru) menyesuaikan
dengan sistem pengujian yang dilakukan pemerintah (Kemendikbud). Selama
pemerintah masih mempertahankan UASBN di SD, hampir pasti pembelajaran IPA
hanya mengajarkan produknya saja. Para guru akan mengajar dengan metode yang
paling mudah dan sederhana: ceramah disertai latihan soal. Untuk apa belajar
proses, sikap, dan produk IPA, sementara yang diujikan hanya produknya saja? Apalagi
kriteria kelulusan siswa juga hanya berkaitan dengan aspek penguasaan kognitif.
***
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar
Isi dan Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, menegaskan
bahwa IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari jenjang
SD/MI sampai SMP/MTs. IPS mempelajari sejumlah peristiwa, fakta, konsep, dan
generalisasi yang berkaitan dengan isu-isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata
pelajaran IPS meliputi materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui
mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara
Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab serta menjadi warga dunia yang cinta
damai.
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa pembelajaran
IPS di SD selama ini hanya sekadar menghafal. Dalam pelajaran Sejarah,
anak-anak hanya diminta menghafal nama-nama candi, nama-nama raja (tokoh) yang
berkuasa, dan tahun-tahun peristiwa penting dalam Sejarah. Anak-anak tidak
pernah diajari apa makna dibalik peristiwa Sejarah itu. Setiap peristiwa Sejarah
selalu ada nilai-nilai karakter yang dapat diteladani: dalam tokoh Patih Gadjah
Mada (dengan Sumpah Palapa) ada karakter semangat kebangsaan dan cinta tanah
air, dalam membangun Candi Borobudur dan Candi Prambanan ada karakter semangat kerja
keras, dan sebagainya.
***
IPA dan IPS memiliki karakteristik
dan tujuan yang berbeda. IPA dan IPS juga memiliki cara berbeda dalam membangun
karakter peserta didik. Jika pembelajaran IPA dan IPS dilakukan dengan baik, banyak
nilai karakter yang dapat diajarkan kepada peserta didik. Apabila kurikulum mendatang dirancang
lebih mengedepankan pendidikan karakter, rencana pemerintah mengambil kebijakan
pembelajaran tematik dan mengintegrasikan IPA dan IPS ke dalam mata pelajaran
lain perlu dikaji ulang. Jika IPA dan IPS diajarkan tematik, (hampir) pasti
tema-tema yang diajarkan hanya sekadar pelengkap pelajaran serta miskin
nilai-nilai karakter.
*) Bambang Ruwanto
Pengajar
Jurusan Pendidikan Fisika,
FMIPA, UNY
Membiasakan Anak Peduli Lingkungan
Bambang Ruwanto
(Kedaulatan Rakyat, 05-11-2012)
Konferensi Tingkat Kementerian
negara-negara Asia-Pasifik mengenai Pengurangan Risiko Bencana kelima di
Yogyakarta resmi berakhir Kamis (25/10/2012). Konferensi ini menghasilkan beberapa
rekomendasi yang terkait dengan pengurangan risiko bencana sebagaimana
termuat dalam “Yogyakarta Declaration” (KR, 27/10/2012). Salah satu rekomendasi
menyebutkan pentingnya integrasi upaya penanggulangan bencana dengan adaptasi
perubahan iklim. Rekomendasi ini sangat penting dan perlu segera
ditindaklanjuti, mengingat perubahan iklim telah terjadi.
Cuaca ekstrem, sering terjadi badai
tropis, serta pergeseran musim hujan merupakan bukti bahwa perubahan iklim
telah terjadi. Perubahan iklim telah menimbulkan dampak di berbagai bidang.
Badai tropis menyebabkan terjadinya gelombang tinggi di lautan Indonesia .
Akibatnya, nelayan tidak berani melaut. Sebagai nelayan, hasil tangkapan ikan
merupakan penopang utama ekonomi keluarga. Jika keadaan ini sering terjadi,
tentu akan berdampak pada kemiskinan penduduk di kawasan pantai. Pergeseran musim hujan juga berdampak bagi
para petani. Petani di sejumlah tempat dibuat bingung karena curah hujan yang
tidak menentu. Petani kebingungan dalam memilih
bibit yang akan ditanam: padi atau
jagung. Akhirnya, banyak petani yang
menanam padi dan jagung pada satu lahan: di sela-sela tanaman padi, bibit jagung
ditanam.
Pemanasan Global
Perubahan
iklim merupakan akibat dari pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu rata-rata
permukaan bumi. Meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfer
dituding sebagai penyebab utama terjadinya pemanasan global. Beberapa GRK adalah karbon dioksida (CO2), dinitrogen
monoksida (N2O), dan metana (CH4). Gas-gas ini bersifat
seperti kaca yang meneruskan radiasi gelombang pendek dari matahari sekaligus
menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang. Akibatnya, suhu di atmosfer
bumi meningkat dan memengaruhi suhu permukaan bumi. Permukaan bumi yang “dipayungi”
GRK ibarat berada di dalam rumah kaca sehingga terasa hangat. Efek yang
ditimbulkan oleh GRK dinamakan efek rumah kaca. Dari beberapa GRK di atmosfer, CO2 adalah gas yang paling
dominan. Gas CO2 dihasilkan oleh emisi kendaraan bermotor,
pembakaran hutan, dan asap hasil pembakaran bahan bakar fosil.
Para pemerhati lingkungan
memperkirakan suhu rata-rata permukaan bumi telah mengalami kenaikan hampir dua
kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Badan PBB untuk urusan perubahan iklim,
IPCC, memperkirakan pada tahun 2100 suhu rata-rata permukaan bumi cenderung
meningkat dari 1,8oC menjadi 4oC. Jika keadaan ini tidak
diantisipasi sejak sekarang, anak-anak yang kini sedang tumbuh saat dewasa nanti
akan sangat merasakan dampaknya.
Apa yang harus dilakukan?
Sejalan
dengan salah satu butir Deklarasi Yogyakarta, adaptasi perubahan iklim perlu
melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk anak-anak. Anak-anak perlu diberi pengetahuan tentang
perilaku hidup yang ramah lingkungan. Sebagai wujud kepedulian terhadap masa
depan bumi, sebuah majalah anak-anak terbitan ibukota pernah menyelenggarakan konferensi
anak dengan tema “Global Warming: Let’s be the Greeners” di Jakarta. Tema ini
sangat relevan dengan kondisi alam sekarang. Secara kebetulan, putri saya
berkesempatan mengikuti konferensi itu. Peserta konferensi yang masih duduk di
kelas 4-6 sekolah dasar sangat tekun mendengarkan ceramah mengenai pentingnya
bersahabat dengan alam yang diberikan oleh mantan Menteri Negara Lingkungan
Hidup RI, Dr. Sonny Keraf. Konferensi itu menghasilkan sebuah deklarasi yang
berisi butir-butir penyebab pemanasan global dan dampaknya serta upaya yang
dapat dilakukan untuk mengurangi laju pemanasan global.
Untuk memperlambat laju pemanasan
global, peserta konferensi merekomendasikan supaya hemat listrik, memisahkan
sampah organik dan anorganik, hemat kertas, dan mengurangi pemakaian tas
plastik. Hemat listrik akan mengurangi beban pusat pembangkit tenaga listrik, sehingga emisi CO2 yang dihasilkannya
menjadi berkurang. Melalui pemisahan sampah
organik dan anorganik anak-anak memiliki kesempatan bersahabat dengan
alam, yaitu membuat pupuk kompos. Jika hemat kertas, berarti mengurangi jumlah
pohon yang ditebang. Seperti diketahui, tumbuhan hijau dapat mengurangi
kandungan CO2 di atmosfer, sebab CO2 diperlukan untuk proses fotosintesis. Tas
plastik merupakan sampah anorganik yang sangat sukar terurai secara alami. Jika
tas plastik banyak diproduksi, berarti semakin banyak emisi gas CO2
yang dihasilkan oleh pabrik tas plastik.
Peserta konferensi juga mengusulkan
menanam pohon, mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menjadi penghijau (the greeners). Semakin banyak pohon tumbuh, semakin sedikit
kandungan gas CO2 di atmosfer. Banyak hal sederhana yang dapat dilakukan anak-anak
untuk menjaga bumi. Anak-anak perlu pembiasaan supaya sikap dan perilakunya senantiasa
ramah lingkungan. Demi bumi kita
tercinta.
*) Bambang Ruwanto
Dosen Jurusan Pendidikan Fisika,
FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta.
Penulis Buku Sains Anak “Seri Pemanasan Global”
Buku Sekolah Elektronik dan Kurikulum Baru
Bambang Ruwanto
(Kedaulatan Rakyat, 17-10-2012, hlm. 12)
(Kedaulatan Rakyat, 17-10-2012, hlm. 12)
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) saat ini sedang menyiapkan kurikulum baru untuk semua
jenjang pendidikan. Kurikulum baru ini nantinya sebagai pengganti kurikulum
yang sekarang masih berlaku, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2006. Kurikulum baru biasanya selalu
diikuti dengan buku teks (buku pelajaran) yang baru pula. Saat ini pemerintah
telah menyediakan sejumlah buku teks dalam bentuk digital, yaitu buku sekolah
elektronik (BSE) yang dapat diunduh secara gratis. Buku teks dalam bentuk
digital ini ditulis berdasarkan KTSP 2006. Jika kurikulum baru diberlakukan,
bagaimana nasib buku teks BSE?
Buku teks merupakan salah satu
komponen penting dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Keberadaan buku
sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan peserta didik. Selama ini pemerintah
telah beberapa kali melakukan berbagai kebijakan di bidang buku teks. Salah
satu kebijakan yang pernah dilakukan adalah adanya buku teks di sekolah yang
berlaku selama lima tahun. Buku teks yang digunakan di sekolah juga harus telah
lulus penilaian dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kebijakan ini ditempuh
untuk menghindari pergantian buku teks setiap semester yang sangat membebani
orangtua siswa. Namun, beberapa buku teks yang telah lolos penilaian BSNP dan
telah dinyatakan layak sebagai buku pelajaran berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2007 tanggal 25 Juni 2007 tentang Penetapan
Buku Teks Pelajaran ternyata hanya dipakai selama satu tahun. Hal ini terjadi
karena ada kebijakan baru dari pemerintah, yaitu BSE. Peraturan sedang berjalan
satu tahun, sudah muncul peraturan baru lagi. Hal ini menunjukkan bukti bahwa
pemerintah tidak serius menangani buku teks.
Dasar hukum BSE adalah Surat Edaran Mendiknas
No. 88/MPN/LL/2008 tanggal 19 Juni 2008 dan didukung Permendiknas No. 28 Tahun
2008 tanggal 13 Juni 2008 tentang Perubahan atas Permendiknas No.13 tahun 2008
tanggal 16 April 2008 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Buku Teks Pelajaran
yang hak ciptanya dibeli pemerintah. Tujuan kebijakan BSE adalah dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan melalui buku teks yang bermutu, murah, dan mudah
diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Saat ini terdapat 927 judul buku teks
BSE untuk jenjang SD sampai SMA/SMK. Buku-buku ini hak ciptanya telah dibeli
pemerintah dengan harga mencapai puluhan juta rupiah per judul. Dapat
dibayangkan jumlah uang negara yang
sudah dikeluarkan untuk proyek ini.
BSE
tidak Populer
Buku teks merupakan salah satu komponen
penting dalam proses pembelajaran di kelas. Di samping berfungsi untuk
mendukung guru dalam proses pembelajaran di kelas, buku teks juga merupakan
alat bantu siswa dalam memahami mata pelajaran. Oleh karena itu, sudah
selayaknya apabila isi buku teks harus bebas dari kesalahan. Namun, buku teks
BSE yang telah dinilai BSNP ternyata masih banyak yang keliru dan tidak
lengkap. Sekadar contoh, buku teks BSE pelajaran sains seharusnya berisi lebih
dari sekadar definisi-definisi dan istilah-istilah sains. Akan tetapi, banyak
buku teks BSE pelajaran sains yang hanya mendefinisikan beberapa konsep dan
istilah-istilah sains tanpa penjelasan yang terperinci mengenai konsep yang
bersangkutan. Bahkan ada buku teks BSE mata pelajaran sains yang kesalahannya
sangat fatal.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan
buku teks BSE tidak populer. Pertama,
penyajian materinya terlalu singkat. Penyajian yang terlalu singkat ini boleh
jadi berkaitan dengan HET buku teks BSE. Kedua,
buku teks BSE masih banyak yang salah konsep. Ketiga, penyajian buku teks BSE kurang menarik jika dibandingkan
dengan buku teks non-BSE yang ada di pasaran. Buku teks non-BSE biasanya
disajikan dengan tata-letak dan desain yang sangat menarik, sebab harus mampu bersaing
di pasaran. Penyajian materi buku teks non-BSE juga lebih lengkap karena
penulisannya tidak mempertimbangkan HET.
Untuk
Apa BSE?
Kurikulum baru yang sekarang sedang
diolah oleh Kemendikbud direncanakan digunakan pada tahun ajaran 2013-2014. Menurut
beberapa sumber, akan terjadi perubahan kurikulum yang sangat signifikan. Kurikulum
SD akan terjadi pengurangan jumlah mata pelajaran, termasuk wacana penggabungan
IPA dan IPS menjadi pengetahuan umum. Jika kurikulum baru nanti berbeda dengan
KTSP 2006, buku teks BSE yang sudah ada pasti tidak digunakan lagi. Artinya, proyek
pengadaan buku teks BSE yang nilainya mencapai milyaran rupiah itu menjadi
sia-sia. Apakah Kemendikbud memikirkan soal ini?
*) Bambang
Ruwanto
Dosen Jurusan Pendidikan Fisika
FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
Kemacetan
sebagai Media Pendidikan Karakter
Sekitar
1990-an menyusuri ruas jalan di Kota Yogyakarta masih terasa nyaman. Jumlah
kendaraan dan angkutan umum yang beroperasi tidak terlalu banyak sehingga berkendara
di dalam kota tidak perlu takut terjebak kemacetan. Sekarang, setelah 22 tahun
berlalu, arus lalu lintas dalam kota tampak padat. Bahkan, beberapa ruas jalan
cenderung semrawut sehingga
menimbulkan kemacetan. Menjelang pukul 7 pagi, ada beberapa kawasan yang
(hampir) dipastikan terjadi kemacetan. Sekadar contoh, ruas Jalan RE
Martadinata di kawasan Wirobrajan, perempatan Pingit, dan perempatan Mirota
Kampus. Pemandangan serupa terjadi pada siang dan sore hari, saat anak-anak
pulang sekolah dan para karyawan pulang kantor. Namun, dibalik kemacetan ada materi
pendidikan karakter yang dapat diajarkan. Kita sering melihat para orangtua yang
mengantar anaknya ke sekolah dengan sepeda motor dan terjebak macet, tidak
jarang mereka mengambil jalan pintas. Mereka mengendarai sepeda motornya melalui
trotoar. Alasan yang dikemukakan adalah supaya anaknya tidak terlambat di
sekolah. Namun, sadarkah bahwa perilaku ini sebenarnya sudah mengajarkan hal
yang salah kepada anak? Trotoar adalah hak para pejalan kaki, bukan ruas jalan
yang disediakan untuk pengendara sepeda motor. Jika pengguna sepeda motor
melewati trotoar, berarti ia telah merampas hak orang lain. Jika orangtua
peduli pendidikan, saat terjebak kemacetan sebenarnya merupakan ‘kesempatan’
yang sangat baik untuk mendidik putra/putrinya untuk tetap tertib. Ketika
anak-anak melihat para pengguna sepeda motor berjalan melalui trotoar,
sampaikan kepadanya bahwa perilaku semacam itu tidak baik. Apa yang dilakukan para orangtua yang berjalan
melalui trotoar justru bertentangan dengan pendidikan karakter yang diajarkan
di sekolah. Orangtua justru mengajarkan perilaku yang tidak baik.
Para
orangtua yang mengantarkan anaknya ke sekolah seringkali juga menerobos traffic light yang sudah menyala merah. Alasannya
juga klasik, supaya anaknya tidak terlambat di sekolah. Apakah orangtua itu
tidak sadar bahwa saat menerobos lampu merah itu ia sedang mengajarkan perilaku
yang tidak baik? Jika setelah dewasa anak juga melakukan hal yang sama, tentu
karena hasil pendidikan orangtuanya. Orangtua telah mendidik anak dengan cara yang
salah. Agar pendidikan berhasil dengan baik, perlu keteladanan dari semua
pihak. Ketika di rumah para orangtua selalu mengajarkan sikap jujur, tidak
melanggar aturan, dan tidak merampas hak-hak orang lain. Namun, orangtua sendiri
sering tidak pernah memberi teladan. Memang saat ini banyak orang hanya mudah
memberi petunjuk, tetapi miskin keteladanan. Sementara kata-kata bijak
mengatakan, satu keteladanan lebih bermakna daripada seribu petunjuk. Mari
memberi teladan kepada anak-anak supaya mereka menjadi pribadi yang
berkarakter!
(Bambang Ruwanto, Staf Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, UNY)
Menggagas
Kurikulum Kebencanaan
Bambang
Ruwanto
(Kedaulatan Rakyat, 26 September 2012 hal 12)
Selama
September 2012 koran ini memberitakan tiga bencana alam yang melanda wilayah
Indonesia. Pertama, Minggu (9/9) sekitar pukul 01.27 WIB Bogor dikejutkan
dengan gempa bumi berkekuatan 4,8 SR. Gempa bumi selama 15 detik ini
mengakibatkan 458 rumah rusak (KR,
10/9/2012). Pada edisi yang sama, ditampilkan pula berita foto mengenai hutan
cemara di lereng Gunung Anak Krakatau yang terbakar akibat aliran lava yang
dimuntahkan oleh gunung ini yang meletus sejak Minggu (2/9). Kedua, Sabtu (15/9) pukul 18.53 WITA Gunung
Api Lokon di Tomohon, Sulawesi Utara, meletus. Ketinggian asap letusan gunung
ini mencapai 1.500 m (KR, 16/9/2012).
Ketiga, Minggu (16/9) pukul 13.22 Gunung Gamalama di Maluku Utara, juga meletus
hebat (KR, 17/9/2012).
Secara
geografis wilayah Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng besar:
Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Artinya, wilayah Indonesia memang sangat
rawan terjadi gempa bumi. Gempa bumi dapat terjadi sewaktu-waktu, tidak dapat
diramalkan sebelumnya. Mengingat wilayah
Indonesia merupakan negara kepulauan, gempa bumi juga sering berpotensi menimbulkan
tsunami. Gempa bumi yang disertai
tsunami hebat pernah melanda Provinsi NAD, 26 Desember 2004. Setelah kejadian
itu, masyarakat selalu mengkaitkan gempa bumi dengan tsunami. Ketika gempa bumi
dahsyat melanda Yogyakarta (27 Mei 2006), masyarakat Yogyakarta dibuat panik
dengan isu tsunami. Penulis, ketika itu berada di lokasi bencana, sangat
merasakan kepanikan warga. Isu yang berkembang ketika itu adalah air dari Samudera
Indonesia akan segera memasuki wilayah Yogyakarta. Akibatnya, warga Yogyakarta yang
bermukim di wilayah selatan bergerak ke utara, menjauhi Samudera Indonesia. Situasi
semakin kacau karena warga Yogyakarta yang bermukim di wilayah utara justru
bergerak ke selatan. Masyarakat Yogyakarta di wilayah utara menduga bahwa gempa bumi yang baru saja
terjadi disebabkan oleh Gunung Merapi yang pada waktu itu (diprediksi) akan
meletus. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai bencana alam
sangat kurang, sehingga mudah terpancing isu-isu yang menyesatkan.
Di
samping berada pada pertemuan tiga lempeng besar, wilayah Indonesia juga
dilalui oleh jalur cincin api (the ring
of fire). Itulah sebabnya di Indonesia terdapat banyak gunung api, beberapa
di antaranya berada di Pulau Jawa. Artinya, penduduk Pulau Jawa hidup
berdampingan dengan gunung api yang dapat meletus sewaktu-waktu. Letusan Gunung
Merapi, Gunung Semeru, dan Gunung Lokon menunjukkan bukti bahwa kita ini hidup
berdampingan dengan bahaya letusan gunung api.
Indonesia
juga tidak pernah sepi dari bencana tanah longsor dan puting beliung. Bencana
tanah longsor yang pernah terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat (21
Februari 2005), mengakibatkan 120 orang tewas. Angin puting beliung yang sering
melanda beberapa wilayah Indonesia juga sering menimbulkan kerugian harta
benda, bahkan korban jiwa. Jadi, sampai kapan pun hidup di wilayah Indonesia akan
selalu berdampingan dengan bencana alam. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Kurikulum Kebencanaan
Untuk
mengurangi korban yang terus berjatuhan ketika terjadi bencana alam, masyarakat
perlu memahami pengetahuan tentang kebencanaan. Cara yang paling efektif adalah
melalui sekolah. Anak-anak perlu belajar tentang materi kebencanaan, berikut
cara penanggulangannya. Materi kebencanaan yang lebih spesifik disesuaikan dengan
lingkungan tempat tinggal anak dengan mempertimbangkan bencana alam yang
mungkin terjadi di daerah itu. Anak-anak yang hidup di daerah pantai, perlu
mengetahui tanda-tanda bencana tsunami serta cara-cara penyelamatan diri.
Anak-anak yang hidup di daerah patahan, perlu mengetahui cara menyelamatkan
diri apabila terjadi gempa bumi. Anak-anak yang bertempat tinggal di lereng
gunung api perlu mengetahui tanda-tanda gunung api akan meletus dan usaha-usaha
penyelamatan diri apabila terjadi erupsi. Pembelajaran kebencanaan ini tidak
sekadar teori, tetapi harus praktik langsung atau simulasi. Secara periodik anak-anak
harus melakukan simulasi cara menyelamatkan diri. Dengan cara ini, anak-anak
menjadi terbiasa melakukan upaya penyelamatan diri.
Mengingat
wilayah Indonesia sampai kapan pun sangat rawan bencana, pemerintah (Kemendikbud)
perlu membuat kurikulum kebencanaan. Karena beban belajar siswa di sekolah
sudah terlalu banyak, pengetahuan kebencanaan dapat diintegrasikan dengan
pelajaran yang relevan, misalnya sains (fisika) atau geografi. Pemahaman materi
kebencanaan tentu sangat bermanfaat, khususnya dalam upaya penyelamatan diri ketika
terjadi bencana.
*)
Bambang
Ruwanto, M.Si.,
Dosen
Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, UNY
Penulis
Buku Sains Anak “Seri Bencana Alam”
Pembelajaran (Sains) Berbasis Lingkungan
Bambang Ruwanto
(Kedaulatan Rakyat, 06-09-2012, hlm. 12)
Sains adalah salah satu mata pelajaran utama dalam kurikulum nasional. Namun, sains juga merupakan mata pelajaran yang dianggap sukar oleh sebagian (besar) siswa mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Hal ini tampak dari perolehan nilai rerata ujian nasional (UN) mata pelajaran kelompok sains yang selalu lebih rendah daripada mata pelajaran lain. Berbagai kebijakan telah ditempuh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan sains. Pemerintah telah memberikan sejumlah alat peraga ke sekolah-sekolah untuk mendukung pembelajaran sains. Berbagai pelatihan metode pembelajaran sains juga telah dilakukan. Namun, hasil dari berbagai kebijakan itu belum menggembirakan. Adakah yang salah dalam pembelajaran sains di sekolah?
Menurut pengamatan penulis, hampir sebagian (besar) siswa belajar sains dengan cara menghafal. Akan tetapi, sekadar hafal konsep-konsep sains ternyata tidak cukup. Pembelajaran sains harus dihubungkan dengan fenomena alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Setelah siswa belajar fisika, ia harus dapat menjelaskan kegunaan sabuk pengaman. Setelah belajar biologi, ia harus dapat menjelaskan mengapa undur-undur (nama famili Myrmeleontidae) berjalan mundur. Setelah belajar kimia, ia harus dapat menjelaskan mengapa garam rasanya asin.
Salah satu ukuran yang digunakan masyarakat untuk menilai mutu sekolah adalah perolehan nilai UN. Bila lulusan sebuah sekolah banyak yang berhasil memperoleh nilai UN tinggi, masyarakat otomatis akan menilai bahwa sekolah itu adalah sekolah unggul. Masyarakat tidak peduli dengan metode yang digunakan para guru dalam mengajar. Adanya penilaian semacam ini membuat pembelajaran di sekolah semata-mata hanya untuk memperoleh nilai UN yang tinggi. Pelajaran sains hanya mempelajari materi yang keluar dalam UN. Konsep sains yang dipelajari di kelas tidak pernah dihubungkan dengan fenomena alam. Akibatnya, meskipun anak telah belajar sains, bahkan memperoleh nilai UN yang tinggi, ia tetap saja tidak mampu menjelaskan fenomena alam yang ada di lingkungannya.
Pembelajaran sains di sekolah idealnya melibatkan kegiatan praktikum di laboratorium. Namun, kenyataannya pembelajaran sains hanya dilakukan dengan tutur dan kapur (talk and chalk). Dalam pikiran siswa hanya dijejali rumus-rumus yang harus dihafalkan untuk persiapan UN. Siswa belajar sains dengan materi yang sangat padat, tetapi siswa tidak mampu menjelaskan fenomena alam di sekitarnya. Pembelajaran sains yang hanya sekadar meraih nilai UN tinggi, tentu mengorbankan hakikat sains itu sendiri. Pelajaran sains bukan pelajaran menghafal. Ketika seorang guru mengajarkan sains dengan cara menghafal, ia tidak sedang mengajar sains tetapi sedang bercerita tentang sains. Untuk mengetahui tentang sains, siswa harus melakukan eksperimen. Apabila guru kreatif, banyak eksperimen yang dapat dilakukan dengan alat-alat sederhana. Sayangnya, kegiatan eksperimen ini tampaknya belum menjadi budaya di kalangan para guru. Salah satu alasan klasik yang sering dikemukakan adalah kurangnya peralatan atau fasilitas laboratorium.
Sains dan Lingkungan
Pembelajaran sains di sekolah sebenarnya tidak harus selalu melibatkan alat laboratorium yang serba canggih dan modern. Di lingkungan sekolah banyak gejala atau fonomena alam yang dapat digunakan sebagai media untuk belajar sains. Misalnya, mengapa jalan di perbukitan dibuat berkelok-kelok? Mengapa langit berwarna biru? Bagaimana menjelaskan fenomena aneh daun putri malu?
Di samping menggunakan pertanyaan sains yang diperoleh di lingkungan sekitar, pembelajaran sains juga dapat dilakukan melalui eksperimen sederhana yang bahan-bahannya dapat diperoleh dengan mudah. Untuk menjelaskan bahwa tekanan air bergantung pada kedalaman, guru cukup menggunakan botol bekas air mineral yang diberi lubang pada ketinggian yang berbeda. Selanjutnya, isi botol dengan air. Tampak air yang keluar dari lubang paling bawah akan memancar paling jauh. Hal ini membuktikan bahwa tekanan air bergantung pada kedalaman. Selanjutnya, guru perlu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pada konstruksi bendungan air. Untuk menjelaskan setiap pembakaran memerlukan oksigen, guru sains cukup menyediakan lilin, korek api, dan gelas. Ketika lilin menyala ditutup dengan gelas, ternyata lilin padam. Sebuah eksperimen sains yang sangat sederhana tetapi menakjubkan. Jadi, pembelajaran sains tidak perlu sarana laboratorium yang lengkap dan modern. Semua bergantung pada kemauan dan kreativitas para guru sains.
*) Bambang Ruwanto
Dosen Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, UNY
Penulis Buku “Ayo Bermain Sambil Belajar Fisika”
Bambang Ruwanto
Pada penerimaan peserta didik baru
tahun ajaran 2012/2013 beberapa waktu yang lalu, ada beberapa sekolah negeri
yang kekurangan peserta didik baru. Untuk mengatasi masalah ini beberapa
sekolah negeri mengambil kebijakan dengan memperpanjang masa penerimaan peserta
didik baru sampai menjelang tahun ajaran baru dimulai (Kedaulatan Rakyat, 6/7/2012). Tentu saja kebijakan ini mendapat
restu dari dinas pendidikan setempat. Kebijakan ini membuat sekolah swasta,
khususnya sekolah swasta miskin, kesulitan mendapatkan siswa baru. Akibatnya,
sekolah swasta kategori ini terancam bangkrut dan gulung tikar. Melalui
perpanjangan masa penerimaan peserta didik baru boleh jadi merupakan upaya
untuk “menyingkirkan” sekolah swasta. Masalahnya, apakah kita rela apabila
sekolah-sekolah swasta yang telah mendidik ribuan anak bangsa itu mati
mengenaskan? Apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan sekolah swasta
(miskin)?
Ketika
pemerintah menjalankan kebijakan sekolah gratis, yang hanya berlaku untuk
sekolah negeri, pemerintah sebenarnya telah “membunuh” sekolah swasta secara pelan-pelan. Pembunuhan secara
pelan-pelan sama artinya dengan sebuah penyiksaan. Sudah miskin, tersiksa lagi.
Lengkap sudah penderitaannya. Kebijakan sekolah gratis berdampak luar biasa
pada sekolah swasta, khususnya sekolah swasta miskin.
Sekadar contoh dampak kebijakan
pemerintah yang tidak memihak sekolah swasta tampak pada ilustrasi berikut.
Sekitar tahun 1980-an penulis menuntut ilmu di sebuah sekolah menengah swasta.
Ketika belum ada kebijakan seperti sekarang, sekolah swasta ini merupakan salah
satu sekolah yang menjadi pilihan masyarakat. Sekitar tahun 1980-an sekolah ini
mampu menampung siswa baru sebanyak enam kelas paralel atau sekitar 240 siswa. Masyarakat memilih sekolah ini karena mutunya
yang tidak jauh berbeda dengan sekolah negeri. Alumni sekolah ini telah
tersebar di seluruh negeri ini dan menekuni berbagai profesi yang terhormat di
masyarakat. Ada yang menjadi pengusaha, birokrat, dosen, guru, dan sebagainya.
Namun, kejayaan masa lalu sekarang hampir tidak ada bekasnya. Jumlah siswa sekolah
swasta ini terus mengalami penurunan yang sangat signifikan. Setiap tahun ajaran baru jumlah peserta didik
baru hanya satu kelas dengan jumlah siswa kurang dari 20. Sangat
memprihatinkan. Sebagai alumni, penulis sangat sedih dan prihatin dengan
kondisi ini.
Keprihatinan
sekolah swasta tampaknya masih akan berlanjut. Akhir-akhir ini para guru di
sekolah swasta yang berstatus PNS di mutasi ke sekolah-sekolah negeri. Jika demikian,
sekolah swasta tentu harus mencari guru pengganti sekaligus memikirkan
honorariumnya. Sebuah tantangan lain yang membuat sekolah swasta semakin
terpuruk.
Apa yang dapat dilakukan?
Jika pemerintah (dinas pendidikan) peduli terhadap
sekolah swasta, sebenarnya banyak sekolah swasta yang bisa diselamatkan. Ketika
masa pendaftaran selolah negeri sudah berakhir, tidak perlu ada perpanjangan
masa pendaftaran. Beri kesempatan sekolah swasta untuk mendapatkan siswa baru.
Biarlah sekolah swasta bersaing dengan sesamanya.
Untuk mempertahankan keberadaannya, sekolah swasta
perlu menjalin komunikasi dengan para alumni. Sudah hampir pasti para alumni
tidak akan rela apabila sekolah tempat di mana mereka pernah menuntut ilmu mati
tak berbekas. Melalui jejaring sosial, misalnya
Facebook, sekolah bisa menjelaskan kepada para
alumninya mengenai kondisi yang dialami. Untuk menampung kepedulian alumni,
sekolah bisa membuat dompet peduli dengan membuka nomor rekening bank. Untuk
menjamin transparansi penggunaan dana, laporan keuangan bisa ditampilkan secara
periodik melalui blog sekolah. Menurut
pengamatan penulis, ada beberapa sekolah swasta yang melakukan usaha ini dan
ternyata berhasil. Melalui jejaring sosial sekolah mampu menggugah kepedulian para
alumninya untuk ikut memikirkan bekas almamaternya. Mereka rela menyisihkan
sebagian penghasilannya demi kelangsungan hidup bekas almamaternya. Dengan cara
ini pula sekolah mampu membebaskan SPP bagi siswa yang tidak mampu. Bahkan,
dana alumni dapat digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan sekolah. Semoga
kepedulian alumni sekolah swasta terus terjaga sehingga dapat memperpanjang
umur sekolah yang hampir mati.
*) Bambang Ruwanto, M.Si.,
Dosen Jurusan Pendidikan
Fisika, FMIPA, UNY
Alumni Sekolah Swasta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar