Artikel




IPA, IPS, dan Pendidikan Karakter
Bambang Ruwanto
  (Kedaulatan Rakyat, 24-11-2012)

            Dalam kurikulum baru yang akan diterapkan mulai tahun ajaran 2013-2014, mata pelajaran IPA dan IPS di SD bersifat tematik-integratif. Pelajaran IPA dan IPS dengan tema tertentu (misalnya:  lingkungan hidup, bencana alam, dan kepahlawanan)  akan diintegrasikan pada mata pelajaran lain. IPA akan menjadi materi pembahasan pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika, sedangkan IPS akan menjadi materi pembahasan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) (KR, 14/11/2012). Perubahan kurikulum pada jenjang SD akan “menghapus” mata pelajaran IPA dan IPS. Berdasarkan arahan Wakil Presiden Boediono, kurikulum baru yang sedang disusun pemerintah lebih ditekankan pada penanaman nilai dan sikap mulia, yaitu pendidikan karakter.  Mata pelajaran IPA dan IPS sebenarnya sarat dengan nilai-nilai karakter dan dapat digunakan sebagai media pendidikan karakter.
***
            Carin dan Sund (1989) mengemukakan bahwa IPA atau sains memiliki tiga unsur utama yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: proses, produk, dan sikap ilmiah. Proses sains atau biasa dikenal dengan istilah proses ilmiah terdiri atas beberapa tahapan, yaitu: mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, melakukan eksperimen, melakukan observasi, mengumpulkan dan menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Dalam melaksanakan proses ilmiah perlu dilandasi dengan sikap ilmiah, yaitu: jujur, kritis, teliti, disiplin, terbuka terhadap kritik, hasrat ingin tahu, dan sebagainya. Melalui proses ilmiah yang dilandasi sikap ilmiah akan menghasilkan produk ilmiah, seperti: fakta, prinsip, hukum, teori, dan sebagainya.
            Uraian di atas menunjukkan bahwa pembelajaran IPA sebenarnya sarat dengan nilai-nilai karakter. Ketika anak melakukan eksperimen di laboratorium, sebenarnya anak belajar tentang kejujuran, sikap kritis, ketelitian, disiplin, dan sebagainya. Jadi, mata pelajaran IPA cocok digunakan sebagai media pendidikan karakter. Sayangnya, selama ini pembelajaran IPA tidak pernah melibatkan tiga unsur utama secara simultan. Pembelajaran IPA tidak pernah dilakukan dengan metode eksperimen. Pembelajaran IPA hanya mengajarkan produk tanpa proses. Para siswa hanya sekadar menghafalkan produk-produk IPA. Anak-anak tidak pernah dilibatkan dalam proses ilmiah dan sikap ilmiah. Sebagai media pendidikan karakter, pembelajaran IPA mestinya melibatkan tiga unsur utama: proses, produk, dan sikap ilmiah.
            Pembelajaran IPA yang hanya sekadar mempelajari produk IPA terjadi karena selama ini sekolah (guru) menyesuaikan dengan sistem pengujian yang dilakukan pemerintah (Kemendikbud). Selama pemerintah masih mempertahankan UASBN di SD, hampir pasti pembelajaran IPA hanya mengajarkan produknya saja. Para guru akan mengajar dengan metode yang paling mudah dan sederhana: ceramah disertai latihan soal. Untuk apa belajar proses, sikap, dan produk IPA, sementara yang diujikan hanya produknya saja? Apalagi kriteria kelulusan siswa juga hanya berkaitan dengan aspek penguasaan kognitif.
***
            Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, menegaskan bahwa IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari jenjang SD/MI sampai SMP/MTs. IPS mempelajari sejumlah peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu-isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS meliputi materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab serta menjadi warga dunia yang cinta damai.
            Sejumlah fakta menunjukkan bahwa pembelajaran IPS di SD selama ini hanya sekadar menghafal. Dalam pelajaran Sejarah, anak-anak hanya diminta menghafal nama-nama candi, nama-nama raja (tokoh) yang berkuasa, dan tahun-tahun peristiwa penting dalam Sejarah. Anak-anak tidak pernah diajari apa makna dibalik peristiwa Sejarah itu. Setiap peristiwa Sejarah selalu ada nilai-nilai karakter yang dapat diteladani: dalam tokoh Patih Gadjah Mada (dengan Sumpah Palapa) ada karakter semangat kebangsaan dan cinta tanah air, dalam membangun Candi Borobudur dan Candi Prambanan ada karakter semangat kerja keras, dan sebagainya.
***
            IPA dan IPS memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda. IPA dan IPS juga memiliki cara berbeda dalam membangun karakter peserta didik. Jika pembelajaran IPA dan IPS dilakukan dengan baik, banyak nilai karakter yang dapat diajarkan kepada  peserta didik. Apabila kurikulum mendatang dirancang lebih mengedepankan pendidikan karakter, rencana pemerintah mengambil kebijakan pembelajaran tematik dan mengintegrasikan IPA dan IPS ke dalam mata pelajaran lain perlu dikaji ulang. Jika IPA dan IPS diajarkan tematik, (hampir) pasti tema-tema yang diajarkan hanya sekadar pelengkap pelajaran serta miskin nilai-nilai karakter.

*) Bambang Ruwanto
Pengajar Jurusan Pendidikan Fisika,
 FMIPA, UNY




Membiasakan Anak Peduli Lingkungan
Bambang Ruwanto

(Kedaulatan Rakyat, 05-11-2012)


            Konferensi Tingkat Kementerian negara-negara Asia-Pasifik mengenai Pengurangan Risiko Bencana kelima di Yogyakarta resmi berakhir Kamis (25/10/2012). Konferensi ini menghasilkan beberapa rekomendasi yang terkait dengan pengurangan risiko bencana sebagaimana termuat  dalam  “Yogyakarta Declaration” (KR, 27/10/2012). Salah satu rekomendasi menyebutkan pentingnya integrasi upaya penanggulangan bencana dengan adaptasi perubahan iklim.  Rekomendasi  ini sangat penting dan perlu segera ditindaklanjuti, mengingat perubahan iklim telah terjadi.
            Cuaca ekstrem, sering terjadi badai tropis, serta pergeseran musim hujan merupakan bukti bahwa perubahan iklim telah terjadi. Perubahan iklim telah menimbulkan dampak di berbagai bidang. Badai tropis menyebabkan terjadinya gelombang tinggi di lautan Indonesia. Akibatnya, nelayan tidak berani melaut. Sebagai nelayan, hasil tangkapan ikan merupakan penopang utama ekonomi keluarga. Jika keadaan ini sering terjadi, tentu akan berdampak pada kemiskinan penduduk di kawasan pantai.  Pergeseran musim hujan juga berdampak bagi para petani. Petani di sejumlah tempat dibuat bingung karena curah hujan yang tidak menentu.  Petani kebingungan dalam memilih bibit yang akan ditanam:  padi atau jagung.  Akhirnya, banyak petani yang menanam padi dan jagung pada satu lahan: di sela-sela tanaman padi, bibit jagung ditanam.
Pemanasan Global
            Perubahan iklim merupakan akibat dari pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi. Meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfer dituding sebagai penyebab utama terjadinya pemanasan global. Beberapa GRK  adalah karbon dioksida (CO2), dinitrogen monoksida (N2O), dan metana (CH4). Gas-gas ini bersifat seperti kaca yang meneruskan radiasi gelombang pendek dari matahari sekaligus menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang. Akibatnya, suhu di atmosfer bumi meningkat dan memengaruhi suhu permukaan bumi. Permukaan bumi yang “dipayungi” GRK ibarat berada di dalam rumah kaca sehingga terasa hangat. Efek yang ditimbulkan oleh GRK dinamakan efek rumah kaca. Dari  beberapa GRK di atmosfer,  CO2 adalah gas yang paling dominan. Gas CO2 dihasilkan oleh emisi kendaraan bermotor, pembakaran hutan, dan asap hasil pembakaran bahan bakar fosil.
            Para pemerhati lingkungan memperkirakan suhu rata-rata permukaan bumi telah mengalami kenaikan hampir dua kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Badan PBB untuk urusan perubahan iklim, IPCC, memperkirakan pada tahun 2100 suhu rata-rata permukaan bumi cenderung meningkat dari 1,8oC menjadi 4oC. Jika keadaan ini tidak diantisipasi sejak sekarang, anak-anak yang kini sedang tumbuh saat dewasa nanti akan sangat merasakan dampaknya.
Apa yang harus dilakukan?
            Sejalan dengan salah satu butir Deklarasi Yogyakarta, adaptasi perubahan iklim perlu melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk anak-anak.  Anak-anak perlu diberi pengetahuan tentang perilaku hidup yang ramah lingkungan. Sebagai wujud kepedulian terhadap masa depan bumi, sebuah majalah anak-anak terbitan ibukota pernah menyelenggarakan konferensi anak dengan tema “Global Warming: Let’s be the Greeners” di Jakarta. Tema ini sangat relevan dengan kondisi alam sekarang. Secara kebetulan, putri saya berkesempatan mengikuti konferensi itu. Peserta konferensi yang masih duduk di kelas 4-6 sekolah  dasar sangat tekun  mendengarkan ceramah mengenai pentingnya bersahabat dengan alam yang diberikan oleh mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Dr. Sonny Keraf. Konferensi itu menghasilkan sebuah deklarasi yang berisi butir-butir penyebab pemanasan global dan dampaknya serta upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi laju pemanasan global.
            Untuk memperlambat laju pemanasan global, peserta konferensi merekomendasikan supaya hemat listrik, memisahkan sampah organik dan anorganik, hemat kertas, dan mengurangi pemakaian tas plastik. Hemat listrik akan mengurangi beban pusat pembangkit tenaga listrik,  sehingga emisi CO2 yang dihasilkannya menjadi berkurang. Melalui pemisahan sampah  organik dan anorganik anak-anak memiliki kesempatan bersahabat dengan alam, yaitu membuat pupuk kompos. Jika hemat kertas, berarti mengurangi jumlah pohon yang ditebang. Seperti diketahui, tumbuhan hijau dapat mengurangi kandungan CO2 di atmosfer, sebab CO2  diperlukan untuk proses fotosintesis. Tas plastik merupakan sampah anorganik yang sangat sukar terurai secara alami. Jika tas plastik banyak diproduksi, berarti semakin banyak emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh pabrik tas plastik.
            Peserta konferensi juga mengusulkan menanam pohon, mengajak seluruh lapisan masyarakat  untuk menjadi penghijau (the greeners). Semakin banyak pohon tumbuh, semakin sedikit kandungan gas CO2 di atmosfer.  Banyak hal sederhana yang dapat dilakukan anak-anak untuk menjaga bumi. Anak-anak perlu pembiasaan supaya sikap dan perilakunya senantiasa ramah lingkungan.  Demi bumi kita tercinta.

*) Bambang Ruwanto
Dosen Jurusan Pendidikan  Fisika,
FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta.
Penulis Buku Sains Anak “Seri Pemanasan Global”



Buku Sekolah Elektronik dan Kurikulum Baru
Bambang Ruwanto
(Kedaulatan Rakyat, 17-10-2012, hlm. 12)

            Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat ini sedang menyiapkan kurikulum baru untuk semua jenjang pendidikan. Kurikulum baru ini nantinya sebagai pengganti kurikulum yang sekarang masih berlaku, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.  Kurikulum baru biasanya selalu diikuti dengan buku teks (buku pelajaran) yang baru pula. Saat ini pemerintah telah menyediakan sejumlah buku teks dalam bentuk digital, yaitu buku sekolah elektronik (BSE) yang dapat diunduh secara gratis. Buku teks dalam bentuk digital ini ditulis berdasarkan KTSP 2006. Jika kurikulum baru diberlakukan, bagaimana nasib buku teks BSE?
            Buku teks merupakan salah satu komponen penting dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Keberadaan buku sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan peserta didik. Selama ini pemerintah telah beberapa kali melakukan berbagai kebijakan di bidang buku teks. Salah satu kebijakan yang pernah dilakukan adalah adanya buku teks di sekolah yang berlaku selama lima tahun. Buku teks yang digunakan di sekolah juga harus telah lulus penilaian dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kebijakan ini ditempuh untuk menghindari pergantian buku teks setiap semester yang sangat membebani orangtua siswa. Namun, beberapa buku teks yang telah lolos penilaian BSNP dan telah dinyatakan layak sebagai buku pelajaran berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2007 tanggal 25 Juni 2007 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran ternyata hanya dipakai selama satu tahun. Hal ini terjadi karena ada kebijakan baru dari pemerintah, yaitu BSE. Peraturan sedang berjalan satu tahun, sudah muncul peraturan baru lagi. Hal ini menunjukkan bukti bahwa pemerintah tidak serius menangani buku teks.
            Dasar hukum BSE adalah Surat Edaran Mendiknas No. 88/MPN/LL/2008 tanggal 19 Juni 2008 dan didukung Permendiknas No. 28 Tahun 2008 tanggal 13 Juni 2008 tentang Perubahan atas Permendiknas No.13 tahun 2008 tanggal 16 April 2008 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Buku Teks Pelajaran yang hak ciptanya dibeli pemerintah. Tujuan kebijakan BSE adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan melalui buku teks yang bermutu, murah, dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Saat ini terdapat 927 judul buku teks BSE untuk jenjang SD sampai SMA/SMK. Buku-buku ini hak ciptanya telah dibeli pemerintah dengan harga mencapai puluhan juta rupiah per judul. Dapat dibayangkan jumlah uang negara  yang sudah dikeluarkan untuk proyek ini.
BSE tidak Populer
Buku teks merupakan salah satu komponen penting dalam proses pembelajaran di kelas. Di samping berfungsi untuk mendukung guru dalam proses pembelajaran di kelas, buku teks juga merupakan alat bantu siswa dalam memahami mata pelajaran. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila isi buku teks harus bebas dari kesalahan. Namun, buku teks BSE yang telah dinilai BSNP ternyata masih banyak yang keliru dan tidak lengkap. Sekadar contoh, buku teks BSE pelajaran sains seharusnya berisi lebih dari sekadar definisi-definisi dan istilah-istilah sains. Akan tetapi, banyak buku teks BSE pelajaran sains yang hanya mendefinisikan beberapa konsep dan istilah-istilah sains tanpa penjelasan yang terperinci mengenai konsep yang bersangkutan. Bahkan ada buku teks BSE mata pelajaran sains yang kesalahannya sangat fatal.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan buku teks BSE tidak populer. Pertama, penyajian materinya terlalu singkat. Penyajian yang terlalu singkat ini boleh jadi berkaitan dengan HET buku teks BSE. Kedua, buku teks BSE masih banyak yang salah konsep. Ketiga, penyajian buku teks BSE kurang menarik jika dibandingkan dengan buku teks non-BSE yang ada di pasaran. Buku teks non-BSE biasanya disajikan dengan tata-letak dan desain yang sangat menarik, sebab harus mampu bersaing di pasaran. Penyajian materi buku teks non-BSE juga lebih lengkap karena penulisannya tidak mempertimbangkan HET.
Untuk Apa BSE?
            Kurikulum baru yang sekarang sedang diolah oleh Kemendikbud direncanakan digunakan pada tahun ajaran 2013-2014. Menurut beberapa sumber, akan terjadi perubahan kurikulum yang sangat signifikan. Kurikulum SD akan terjadi pengurangan jumlah mata pelajaran, termasuk wacana penggabungan IPA dan IPS menjadi pengetahuan umum. Jika kurikulum baru nanti berbeda dengan KTSP 2006, buku teks BSE yang sudah ada pasti tidak digunakan lagi. Artinya, proyek pengadaan buku teks BSE yang nilainya mencapai milyaran rupiah itu menjadi sia-sia. Apakah Kemendikbud memikirkan soal ini?  

*) Bambang Ruwanto
Dosen Jurusan Pendidikan Fisika
FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta




Kemacetan sebagai Media Pendidikan Karakter
 (Kedaulatan Rakyat, 25-08-2012, hal. 10)

            Sekitar 1990-an menyusuri ruas jalan di Kota Yogyakarta masih terasa nyaman. Jumlah kendaraan dan angkutan umum yang beroperasi tidak terlalu banyak sehingga berkendara di dalam kota tidak perlu takut terjebak kemacetan. Sekarang, setelah 22 tahun berlalu, arus lalu lintas dalam kota tampak padat. Bahkan, beberapa ruas jalan cenderung semrawut sehingga menimbulkan kemacetan. Menjelang pukul 7 pagi, ada beberapa kawasan yang (hampir) dipastikan terjadi kemacetan. Sekadar contoh, ruas Jalan RE Martadinata di kawasan Wirobrajan, perempatan Pingit, dan perempatan Mirota Kampus. Pemandangan serupa terjadi pada siang dan sore hari, saat anak-anak pulang sekolah dan para karyawan pulang kantor. Namun, dibalik kemacetan ada materi pendidikan karakter yang dapat diajarkan. Kita sering melihat para orangtua yang mengantar anaknya ke sekolah dengan sepeda motor dan terjebak macet, tidak jarang mereka mengambil jalan pintas. Mereka mengendarai sepeda motornya melalui trotoar. Alasan yang dikemukakan adalah supaya anaknya tidak terlambat di sekolah. Namun, sadarkah bahwa perilaku ini sebenarnya sudah mengajarkan hal yang salah kepada anak? Trotoar adalah hak para pejalan kaki, bukan ruas jalan yang disediakan untuk pengendara sepeda motor. Jika pengguna sepeda motor melewati trotoar, berarti ia telah merampas hak orang lain. Jika orangtua peduli pendidikan, saat terjebak kemacetan sebenarnya merupakan ‘kesempatan’ yang sangat baik untuk mendidik putra/putrinya untuk tetap tertib. Ketika anak-anak melihat para pengguna sepeda motor berjalan melalui trotoar, sampaikan kepadanya bahwa perilaku semacam itu tidak baik.  Apa yang dilakukan para orangtua yang berjalan melalui trotoar justru bertentangan dengan pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah. Orangtua justru mengajarkan perilaku yang tidak baik.
            Para orangtua yang mengantarkan anaknya ke sekolah seringkali juga menerobos traffic light yang sudah menyala merah. Alasannya juga klasik, supaya anaknya tidak terlambat di sekolah. Apakah orangtua itu tidak sadar bahwa saat menerobos lampu merah itu ia sedang mengajarkan perilaku yang tidak baik? Jika setelah dewasa anak juga melakukan hal yang sama, tentu karena hasil pendidikan orangtuanya.  Orangtua telah mendidik anak dengan cara yang salah. Agar pendidikan berhasil dengan baik, perlu keteladanan dari semua pihak. Ketika di rumah para orangtua selalu mengajarkan sikap jujur, tidak melanggar aturan, dan tidak merampas hak-hak orang lain. Namun, orangtua sendiri sering tidak pernah memberi teladan. Memang saat ini banyak orang hanya mudah memberi petunjuk, tetapi miskin keteladanan. Sementara kata-kata bijak mengatakan, satu keteladanan lebih bermakna daripada seribu petunjuk. Mari memberi teladan kepada anak-anak supaya mereka menjadi pribadi yang berkarakter!
(Bambang Ruwanto, Staf Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, UNY)
           


Menggagas Kurikulum Kebencanaan
Bambang Ruwanto
(Kedaulatan Rakyat, 26 September 2012 hal 12)

Selama September 2012 koran ini memberitakan tiga bencana alam yang melanda wilayah Indonesia. Pertama, Minggu (9/9) sekitar pukul 01.27 WIB Bogor dikejutkan dengan gempa bumi berkekuatan 4,8 SR. Gempa bumi selama 15 detik ini mengakibatkan 458 rumah rusak (KR, 10/9/2012). Pada edisi yang sama, ditampilkan pula berita foto mengenai hutan cemara di lereng Gunung Anak Krakatau yang terbakar akibat aliran lava yang dimuntahkan oleh gunung ini yang meletus sejak Minggu (2/9).  Kedua, Sabtu (15/9) pukul 18.53 WITA Gunung Api Lokon di Tomohon, Sulawesi Utara, meletus. Ketinggian asap letusan gunung ini mencapai 1.500 m (KR, 16/9/2012). Ketiga, Minggu (16/9) pukul 13.22 Gunung Gamalama di Maluku Utara, juga meletus hebat (KR, 17/9/2012).
Secara geografis wilayah Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng besar: Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Artinya, wilayah Indonesia memang sangat rawan terjadi gempa bumi. Gempa bumi dapat terjadi sewaktu-waktu, tidak dapat diramalkan sebelumnya.  Mengingat wilayah Indonesia merupakan negara kepulauan, gempa bumi juga sering berpotensi menimbulkan tsunami.  Gempa bumi yang disertai tsunami hebat pernah melanda Provinsi NAD, 26 Desember 2004. Setelah kejadian itu, masyarakat selalu mengkaitkan gempa bumi dengan tsunami. Ketika gempa bumi dahsyat melanda Yogyakarta (27 Mei 2006), masyarakat Yogyakarta dibuat panik dengan isu tsunami. Penulis, ketika itu berada di lokasi bencana, sangat merasakan kepanikan warga. Isu yang berkembang ketika itu adalah air dari Samudera Indonesia akan segera memasuki wilayah Yogyakarta. Akibatnya, warga Yogyakarta yang bermukim di wilayah selatan bergerak ke utara, menjauhi Samudera Indonesia. Situasi semakin kacau karena warga Yogyakarta yang bermukim di wilayah utara justru bergerak ke selatan. Masyarakat Yogyakarta di wilayah utara  menduga bahwa gempa bumi yang baru saja terjadi disebabkan oleh Gunung Merapi yang pada waktu itu (diprediksi) akan meletus. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai bencana alam sangat kurang, sehingga mudah terpancing isu-isu yang menyesatkan.
Di samping berada pada pertemuan tiga lempeng besar, wilayah Indonesia juga dilalui oleh jalur cincin api (the ring of fire). Itulah sebabnya di Indonesia terdapat banyak gunung api, beberapa di antaranya berada di Pulau Jawa. Artinya, penduduk Pulau Jawa hidup berdampingan dengan gunung api yang dapat meletus sewaktu-waktu. Letusan Gunung Merapi, Gunung Semeru, dan Gunung Lokon menunjukkan bukti bahwa kita ini hidup berdampingan dengan bahaya letusan gunung api.
Indonesia juga tidak pernah sepi dari bencana tanah longsor dan puting beliung. Bencana tanah longsor yang pernah terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat (21 Februari 2005), mengakibatkan 120 orang tewas. Angin puting beliung yang sering melanda beberapa wilayah Indonesia juga sering menimbulkan kerugian harta benda, bahkan korban jiwa. Jadi, sampai kapan pun hidup di wilayah Indonesia akan selalu berdampingan dengan bencana alam. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Kurikulum Kebencanaan
Untuk mengurangi korban yang terus berjatuhan ketika terjadi bencana alam, masyarakat perlu memahami pengetahuan tentang kebencanaan. Cara yang paling efektif adalah melalui sekolah. Anak-anak perlu belajar tentang materi kebencanaan, berikut cara penanggulangannya. Materi kebencanaan yang lebih spesifik disesuaikan dengan lingkungan tempat tinggal anak dengan mempertimbangkan bencana alam yang mungkin terjadi di daerah itu. Anak-anak yang hidup di daerah pantai, perlu mengetahui tanda-tanda bencana tsunami serta cara-cara penyelamatan diri. Anak-anak yang hidup di daerah patahan, perlu mengetahui cara menyelamatkan diri apabila terjadi gempa bumi. Anak-anak yang bertempat tinggal di lereng gunung api perlu mengetahui tanda-tanda gunung api akan meletus dan usaha-usaha penyelamatan diri apabila terjadi erupsi. Pembelajaran kebencanaan ini tidak sekadar teori, tetapi harus praktik langsung atau simulasi. Secara periodik anak-anak harus melakukan simulasi cara menyelamatkan diri. Dengan cara ini, anak-anak menjadi terbiasa melakukan upaya penyelamatan diri.
Mengingat wilayah Indonesia sampai kapan pun sangat rawan bencana, pemerintah (Kemendikbud) perlu membuat kurikulum kebencanaan. Karena beban belajar siswa di sekolah sudah terlalu banyak, pengetahuan kebencanaan dapat diintegrasikan dengan pelajaran yang relevan, misalnya sains (fisika) atau geografi. Pemahaman materi kebencanaan tentu sangat bermanfaat, khususnya dalam upaya penyelamatan diri ketika terjadi bencana.

                                                            *) Bambang Ruwanto, M.Si.,
Dosen Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, UNY
                                                            Penulis Buku Sains Anak “Seri Bencana Alam”



 Pembelajaran (Sains) Berbasis Lingkungan
Bambang Ruwanto
 (Kedaulatan Rakyat, 06-09-2012, hlm. 12)
            Sains adalah salah satu mata pelajaran utama dalam kurikulum nasional. Namun, sains juga merupakan mata pelajaran yang dianggap sukar oleh sebagian (besar) siswa mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Hal ini tampak dari perolehan nilai rerata ujian nasional (UN) mata pelajaran kelompok sains yang selalu lebih rendah daripada mata pelajaran lain. Berbagai kebijakan telah ditempuh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan sains. Pemerintah telah memberikan sejumlah alat peraga ke sekolah-sekolah untuk mendukung pembelajaran sains. Berbagai pelatihan metode pembelajaran sains juga telah dilakukan. Namun, hasil dari berbagai kebijakan itu belum menggembirakan. Adakah yang salah dalam pembelajaran sains di sekolah?
            Menurut pengamatan penulis, hampir sebagian (besar) siswa belajar sains dengan cara menghafal. Akan tetapi, sekadar hafal konsep-konsep sains ternyata tidak cukup. Pembelajaran sains harus dihubungkan dengan fenomena alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Setelah siswa belajar fisika, ia harus dapat menjelaskan kegunaan sabuk pengaman. Setelah belajar biologi, ia harus dapat menjelaskan mengapa undur-undur (nama famili Myrmeleontidae) berjalan mundur. Setelah belajar kimia, ia harus dapat menjelaskan mengapa garam rasanya asin.  
            Salah satu ukuran yang digunakan masyarakat untuk menilai mutu sekolah adalah perolehan nilai UN. Bila lulusan sebuah sekolah banyak yang berhasil memperoleh nilai UN tinggi, masyarakat otomatis akan menilai bahwa sekolah itu adalah sekolah unggul. Masyarakat tidak peduli dengan metode yang digunakan para guru dalam mengajar. Adanya penilaian semacam ini membuat pembelajaran di sekolah semata-mata hanya untuk memperoleh nilai UN yang tinggi. Pelajaran sains hanya mempelajari materi yang keluar dalam UN. Konsep sains yang dipelajari di kelas tidak pernah dihubungkan dengan fenomena alam. Akibatnya, meskipun anak telah belajar sains, bahkan memperoleh nilai UN yang tinggi, ia tetap saja tidak mampu menjelaskan fenomena alam yang ada di lingkungannya.
            Pembelajaran sains di sekolah idealnya melibatkan kegiatan praktikum di laboratorium. Namun, kenyataannya pembelajaran sains hanya dilakukan dengan tutur dan kapur (talk and chalk). Dalam pikiran siswa hanya dijejali rumus-rumus yang harus dihafalkan untuk persiapan UN. Siswa belajar sains dengan materi yang sangat padat, tetapi siswa tidak mampu menjelaskan fenomena alam di sekitarnya. Pembelajaran sains yang hanya sekadar meraih nilai UN tinggi, tentu mengorbankan hakikat sains itu sendiri. Pelajaran sains bukan pelajaran menghafal. Ketika seorang guru mengajarkan sains dengan cara menghafal, ia tidak sedang mengajar sains tetapi sedang bercerita tentang sains. Untuk mengetahui tentang sains, siswa harus melakukan eksperimen. Apabila guru kreatif, banyak eksperimen yang dapat dilakukan dengan alat-alat sederhana. Sayangnya, kegiatan eksperimen ini tampaknya belum menjadi budaya di kalangan para guru. Salah satu alasan klasik yang sering dikemukakan adalah kurangnya peralatan atau fasilitas laboratorium.
Sains dan Lingkungan
            Pembelajaran sains di sekolah sebenarnya tidak harus selalu melibatkan alat laboratorium yang serba canggih dan modern. Di lingkungan sekolah banyak gejala atau fonomena alam yang dapat digunakan sebagai media untuk belajar sains. Misalnya, mengapa jalan di perbukitan dibuat berkelok-kelok? Mengapa langit berwarna biru? Bagaimana menjelaskan fenomena aneh daun putri malu?
            Di samping menggunakan pertanyaan sains yang diperoleh di lingkungan sekitar, pembelajaran sains juga dapat dilakukan melalui eksperimen sederhana yang bahan-bahannya dapat diperoleh dengan mudah. Untuk menjelaskan bahwa tekanan air bergantung pada kedalaman, guru cukup menggunakan botol bekas air mineral yang diberi lubang pada ketinggian yang berbeda. Selanjutnya, isi botol dengan air. Tampak air yang keluar dari lubang paling bawah akan memancar paling jauh. Hal ini membuktikan bahwa tekanan air bergantung pada kedalaman. Selanjutnya, guru perlu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pada konstruksi bendungan air. Untuk menjelaskan setiap pembakaran memerlukan oksigen, guru sains cukup menyediakan lilin, korek api, dan gelas. Ketika lilin menyala ditutup dengan gelas, ternyata lilin padam. Sebuah eksperimen sains yang sangat sederhana tetapi menakjubkan. Jadi, pembelajaran sains tidak perlu sarana laboratorium yang lengkap dan modern. Semua bergantung pada kemauan dan kreativitas para guru sains.

*) Bambang Ruwanto
Dosen Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, UNY
Penulis Buku “Ayo Bermain Sambil Belajar Fisika”


 Menyelamatkan Sekolah Swasta
            Bambang Ruwanto
(Kedaulatan Rakyat, 03-08-12, hlm. 14)

            Pada penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2012/2013 beberapa waktu yang lalu, ada beberapa sekolah negeri yang kekurangan peserta didik baru. Untuk mengatasi masalah ini beberapa sekolah negeri mengambil kebijakan dengan memperpanjang masa penerimaan peserta didik baru sampai menjelang tahun ajaran baru dimulai (Kedaulatan Rakyat, 6/7/2012). Tentu saja kebijakan ini mendapat restu dari dinas pendidikan setempat. Kebijakan ini membuat sekolah swasta, khususnya sekolah swasta miskin, kesulitan mendapatkan siswa baru. Akibatnya, sekolah swasta kategori ini terancam bangkrut dan gulung tikar. Melalui perpanjangan masa penerimaan peserta didik baru boleh jadi merupakan upaya untuk “menyingkirkan” sekolah swasta. Masalahnya, apakah kita rela apabila sekolah-sekolah swasta yang telah mendidik ribuan anak bangsa itu mati mengenaskan? Apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan sekolah swasta (miskin)?
            Ketika pemerintah menjalankan kebijakan sekolah gratis, yang hanya berlaku untuk sekolah negeri, pemerintah sebenarnya telah “membunuh” sekolah swasta  secara pelan-pelan. Pembunuhan secara pelan-pelan sama artinya dengan sebuah penyiksaan. Sudah miskin, tersiksa lagi. Lengkap sudah penderitaannya. Kebijakan sekolah gratis berdampak luar biasa pada sekolah swasta, khususnya sekolah swasta miskin.
            Sekadar contoh dampak kebijakan pemerintah yang tidak memihak sekolah swasta tampak pada ilustrasi berikut. Sekitar tahun 1980-an penulis menuntut ilmu di sebuah sekolah menengah swasta. Ketika belum ada kebijakan seperti sekarang, sekolah swasta ini merupakan salah satu sekolah yang menjadi pilihan masyarakat. Sekitar tahun 1980-an sekolah ini mampu menampung siswa baru sebanyak enam kelas paralel atau sekitar 240 siswa.  Masyarakat memilih sekolah ini karena mutunya yang tidak jauh berbeda dengan sekolah negeri. Alumni sekolah ini telah tersebar di seluruh negeri ini dan menekuni berbagai profesi yang terhormat di masyarakat. Ada yang menjadi pengusaha, birokrat, dosen, guru, dan sebagainya. Namun, kejayaan masa lalu sekarang hampir tidak ada bekasnya. Jumlah siswa sekolah swasta ini terus mengalami penurunan yang sangat signifikan.  Setiap tahun ajaran baru jumlah peserta didik baru hanya satu kelas dengan jumlah siswa kurang dari 20. Sangat memprihatinkan. Sebagai alumni, penulis sangat sedih dan prihatin dengan kondisi ini.
            Keprihatinan sekolah swasta tampaknya masih akan berlanjut. Akhir-akhir ini para guru di sekolah swasta yang berstatus PNS di mutasi ke sekolah-sekolah negeri. Jika demikian, sekolah swasta tentu harus mencari guru pengganti sekaligus memikirkan honorariumnya. Sebuah tantangan lain yang membuat sekolah swasta semakin terpuruk.
Apa yang dapat dilakukan?
            Jika pemerintah (dinas pendidikan) peduli terhadap sekolah swasta, sebenarnya banyak sekolah swasta yang bisa diselamatkan. Ketika masa pendaftaran selolah negeri sudah berakhir, tidak perlu ada perpanjangan masa pendaftaran. Beri kesempatan sekolah swasta untuk mendapatkan siswa baru. Biarlah sekolah swasta bersaing dengan sesamanya.
            Untuk mempertahankan keberadaannya, sekolah swasta perlu menjalin komunikasi dengan para alumni. Sudah hampir pasti para alumni tidak akan rela apabila sekolah tempat di mana mereka pernah menuntut ilmu mati tak berbekas. Melalui jejaring sosial, misalnya  Facebook,  sekolah bisa menjelaskan kepada para alumninya mengenai kondisi yang dialami. Untuk menampung kepedulian alumni, sekolah bisa membuat dompet peduli dengan membuka nomor rekening bank. Untuk menjamin transparansi penggunaan dana, laporan keuangan bisa ditampilkan secara periodik melalui blog sekolah. Menurut pengamatan penulis, ada beberapa sekolah swasta yang melakukan usaha ini dan ternyata berhasil. Melalui jejaring sosial sekolah mampu menggugah kepedulian para alumninya untuk ikut memikirkan bekas almamaternya. Mereka rela menyisihkan sebagian penghasilannya demi kelangsungan hidup bekas almamaternya. Dengan cara ini pula sekolah mampu membebaskan SPP bagi siswa yang tidak mampu. Bahkan, dana alumni dapat digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan sekolah. Semoga kepedulian alumni sekolah swasta terus terjaga sehingga dapat memperpanjang umur sekolah yang hampir mati.


*) Bambang Ruwanto, M.Si.,
Dosen Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA, UNY
Alumni Sekolah Swasta






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar